Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

LIMA DARURAT YANG WAJIB DIJAGA DAN DIPERTAHANKAN

LIMA DARURAT YANG WAJIB DIJAGA DAN DIPERTAHANKAN

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

---

===

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • DEFINISI MAQOSHID SYARI’AH DAN MASHLAHAT
  • PEMBAHASAN PERTAMA : PEMBAGIAN MASHLAHAT YANG MU'TABARAH DAN MAKSUD TUJUAN SYARIAT
  • KATAGORI PERTAMA: MASHLAHAT DHARURIYYAH [DARURAT]
  • KATEGORI KEDUA: MASHLAHAT HAAJIYAAT
  • KATEGORI KETIGA: MASHALAHAT TAHSIINIYYAT
  • PEMBAHASAN KEDUA: MANA YANG DIDAHULUKAN MENJAGA AGAMA ATAU NYAWA?
  • PEMBAHASAN KE TIGA : KAIDAH RUKHAH DAN DARURAT TIDAK TERBATAS PADA INDIVIDU
  • KEWAJIBAN MENEGAKKAN AGAMA TERGANTUNG PADA KEMAMPUAN DAN KEKUATAN
  • APA MAKNA KEMAMPUAN (الاسْتِطَاعَة) DALAM KONSEP SYAR’I?
  • CONTOH-CONTOH PENERAPAN MAQOSHID SYARI’AH DARI REALITAS SIRAH NABI :
  • PENUTUP :

===***===

الضَّرُورِيَّاتُ الخَمْسُ وَالخِلَافُ فِي تَقْدِيمِ حِفْظِ الدِّينِ عَلَى حِفْظِ النَّفْسِ

Lima Darurat dan perbedaan Pendapat tentang mana yang di dahulukan? Menjaga agama atau menjaga jiwa (nyawa)?

**** 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 ===***===

PENDAHULUAN

Syariat Islam adalah syariat yang secara mutlak paling mulia dan paling tegak dari semua syariat.

Dan syariat Islam ini pasti memiliki maksud-maksud dan tujuan-tujuan untuk direalisasikan dalam kehidupan umatnya.

Maksud dan tujuan syariat ini terdiri dari dua jenis:

  • Jenis pertama: Maksud dan Tujuan Sang Pencipta [Khaliq] dari ciptaannya atau makhluknya.
  • Jenis kedua: Maksud dan Tujuan pencipta syariat dari syariatnya.

Yang kami maksudkan adalah: tujuan akhir dan rahasia yang dituju oleh syariat, dan yang dipertimbangkan oleh pencipta syariat yang bijak pada setiap hukum, yaitu: untuk mencapai tujuan umum, yakni memelihara dan menjaga aturan, undang-undang dan membuat masing-masing individu dan kelompok menjadi senang dan bahagia.

 ****

DEFINISI MAQOSHID SYARI’AH DAN MASHLAHAT

Definisi dari kata “المَقَاصِدُ [maksud dan tujuan syariat] dalam pembahasan di sini adalah:

إِنَّهَا الِاعْتِزَامُ وَالتَّوَجُّهُ وَالنَّهُوضُ نَحْوَ الشَّيْءِ وَإِرَادَتُهُ عَلَى اسْتِقَامَةٍ وَاعْتِدَالٍ

Itu adalah tekad, orientasi, dan bangkit menuju sesuatu dan kehendaknya pada kebenaran dan keseimbangan. 

[Lihat: makna-makna ini dalam Maqooyiis al-Lugoh oleh Ibnu Faris: 5/95-96. Dan al-Mufradat oleh Raghib al-Isfahani: hal.: 451-452].

Definisi Syariah:

«هِيَ عِبَارَةٌ عَمَّا جَاءَ بِهِ الرُّسُلُ مِنْ عِنْدِ اللهِ تَعَالَى بِقَصْدِ هِدَايَةِ البَشَرِ إِلَى الحَقِّ فِي الِاعْتِقَادِ، وَإِلَى الخَيْرِ فِي السُّلُوكِ وَالمُعَامَلَةِ»

“Itu adalah apa yang dibawa para Rasul dari Allah Ta’alaa dengan maksud membimbing manusia kepada kebenaran dalam keyakinan, dan kebaikan dalam perilaku dan urusan duniawi.” [Disebutkan oleh Yusuf Al-‘Aalam dalam Al-Maqasid Al-‘Aamah, hal.20]

Maksud dan tujuan umum Syariat adalah:

« هُوَ حِفْظُ نِظَامِ الأُمَّةِ إِلَى جَلْبِ المَصَالِحِ وَدَرْءِ المَفَاسِدِ، وَاسْتِدَامَةِ صَلَاحِهَا بِصَلَاحِ المُسْتَخْلَفِ فِيهَا، وَهُوَ نَوْعُ الإِنْسَانِ. وَصَلَاحُهُ يَكُونُ بِصَلَاحِ عَقِيدَتِهِ، وَعَقْلِهِ، وَعَمَلِهِ».

Untuk menjaga aturan dan undang-undang umat agar bisa membawa mashlahat dan menangkal mafsadah [bahaya]. Dan kebaikan dan kepantasannya berkelanjutan dengan melahirkan penerus yang baik dan pantas di dalamnya, yaitu jenis manusia yang baik. Dan keshalehannya diukur dengan kebenaran aqidahnya, pikirannya, dan amalannya. [Maqooshid asy-Syariah oleh Ibnu ‘Ashuur, hal.276].

Makna al-Mashlahat adalah sebagaimana yang di katakan ar-Razy:

« المَصْلَحَةُ: عِبَارَةٌ عَنِ المَنْفَعَةِ الَّتِي قَصَدَهَا الشَّارِعُ الحَكِيمُ لِعِبَادِهِ مِنْ حِفْظِ دِينِهِمْ وَنُفُوسِهِمْ وَعُقُولِهِمْ وَنَسْلِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ، طَبْقَ تَرْتِيبٍ مُعَيَّنٍ فِيمَا بَيْنَهَا».

“Maslahah: ungkapan tentang manfaat yang dimaksudkan oleh Pembuat Syariat yang Bijaksana bagi hamba-hamba-Nya dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka, sesuai dengan urutan yang telah ditentukan di antara semua yang disebutkan”. [Al-Mahshuul karya Imam Al-Razi 2/218, beliau menyebutkan definisi ini saat mendefinisikan al-Munaasib (المُنَاسِبُ)].

Makna al-Mafsadah secara terminologis berlawanan dengan al-Maslahah. Dengan demikian dapat didefinisikan berdasarkan kebalikan terminologi Al-Razi dalam mendefinisikan “al-Mashlahah”. Maka al-Mafsadah adalah:

«عِبَارَةٌ عَنِ المَضَرَّةِ الَّتِي قَصَدَهَا الشَّارِعُ الحَكِيمُ دَفْعَهَا عَنْ عِبَادِهِ، لِيَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَنُفُوسَهُمْ وَعُقُولَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَنَسْلَهُمْ»

“Ini adalah kata ungkapan tentang bahaya [madhorot] yang mana Pembuat syariat yang bijaksana bermaksud menghalanginya dari hamba-hamba-Nya, untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, pikiran mereka, harta mereka dan keturunan mereka.” [[Al-Mahshuul karya Imam Al-Razi 2/218].

===***===

PEMBAHASAN PERTAMA:
PEMBAGIAN MASHLAHAT YANG MU’TABARAH DAN MAKSUD TUJUAN SYARIAT

«تَقْسِيْمُ مَصَالِحِ مُعْتَبَرَة وَمَقَاصِدِ الشَّرِيْعَةِ»

Mashlahat terbagi menjadi tiga kategori. Az-Zarkasyi rahimahullah berkata:

‌وتنْقَسِمُ ‌المَصلحةُ ‌المُعْتبَرَةُ ‌بِحَسَبِ ‌قُوَّتِها ‌في ‌ذَاتِها؛ ‌أوْ ‌بِالنِّسبَةِ ‌لِحاجَةِ ‌الإنْسانِ ‌إليها ‌إلى: ضَرُورِيَّةٍ، حاجِيَّةٍ، تَحْسِينيَّةٍ.

“Mashlahat yang mu’tabaroh terbagi berdasarkan tingkat kekuatan pada dzatnya atau terkait dengan tingkat hajat kebutuhan seseorang akan hal itu menjadi 3 tingkatan:

1] Dharuriyat. [Darurat = Primer]

2] Haajiyat. [Hajat Kebutuhan = Skunder]

3] Tahsianiyaat. [Memperbaiki Gaya Hidup = Tersier]

[Di kutip dari “ تَشْنِيفُ المَسَامِعِ شَرْحُ جَمْعِ الجَوَامِعِ (3/15)]

 ****

KATEGORI PERTAMA: MASHLAHAT DARURAT
«المَقَاصِدُ وَالمَصَالِحُ الضَّرُوْرِيَّة»

Menurut terminologi al-Mahallii:

«مَا تَصِلُ الحَاجَةُ إِلَيْهِ إِلَى حَدِّ الضَّرُورَةِ»

“Apa yang dibutuhkan sampai pada level darurat.” [Syarah al-Mahally ‘Alaa Jam’i alJawaami’ 2/28 (bersama Hashiyah Al-Banani)].

Dan menurut Ibnu ‘Asyuur:

«الَّتِي تَكُونُ الأُمَّةُ بِمَجْمُوعِهَا وَآحَادِهَا فِي ضَرُورَةٍ إِلَى تَحْصِيلِهَا، بِحَيْثُ لَا يَسْتَقِيمُ النِّظَامُ بِاخْتِلَالِهَا، فَإِذَا انْخَرَمَتْ تَؤُولُ حَالَةُ الأُمَّةِ إِلَى فَسَادٍ وَتَلَاشٍ»

«Yang mana umat secara keseluruhan dan individu-individunya dalam keadaan darurat untuk mendapatkannya, sehingga jika terpenuhi maka kehidupan tidak dapat ditegakkan, dan jika terjadi kekosongan, maka keadaan bangsa akan berubah menjadi rusak dan punah ». [Maqooshid asy-Syari’ah oleh Ibnu ‘Asyuur, hal. 300-301].

MASHLAHAT YANG DARURAT ADA LIMA MACAM.

 Urutannya adalah sebagai berikut:

1]- Agama [لدين].

2]- Jiwa [النفس].

3]- Akal [العقل].

4]- Keturunan [النسب].

5]- Harta [المال].

Dan ada sebagian para ulama yang menambahkan: ke [6] – yaitu: kehormatan [العِرْضُ].

Az-Zarkasyi rahimahullah berkata:

‌أوَّلاً: الضَّرُورِيَّةُ: وهي ما لَا بُدَّ مِنها في قِيامِ مَصالحِ الدِّينِ والدُّنْيا بِحيثُ إذا فُقِدَتْ لَمْ تَجْرِ َمصالحُ الدُّنيا على اسْتِقامَةٍ، بَلْ على فَسادٍ وتَهارُجٍ وفَوتِ حَياةٍ، وفي الآخِرَةِ فَوتِ النَّجاةِ والنَّعيمِ والرُّجُوعِ بالخُسْرانِ المُبينِ.

فَهي الَّتي تَتَضمَّنُ حِفْظَ مَقْصودٍ مِن المَقاصدِ الخَمْسةِ وهي: حِفْظُ الدِّينِ بِشَرْعِيَّةِ القَتْلِ والقِتالِ، فالقَتلُ للرِّدَّةِ وغيرِها مِن مُوجِباتِ القَتلِ لأِجْلِ مَصلحةِ الدِّينِ، والقِتالُ في جِهادِ أهلِ الحَرْبِ، وحِفظُ النَّفسِ بِشَرعِيَّةِ القِصاصِ، وحِفظُ العَقْلِ بِشرعِيَّةِ الحَدِّ على شُرْبِ المُسْكِرِ، وحِفظُ النَّسلِ بِتَحْريمِ الزِّنا وإِيجابِ العُقوبَةِ عليه، وحِفظُ المَالِ بِإيجابِ الضَّمانِ على المُتَعَدِّي فيهِ، وبِالقَطعِ في السَّرِقَةِ، وهي المَجْموعَةُ في قولِه تعالَى: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ المُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنُّ وَلَا يَاتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ} الآيَةُ.

وزَادَ الطُّوفِيُّ الحَنْبَلِيُّ وتَبِعَهُ التَّاجُ السُّبْكِيُّ سادِساً، وهو حِفظُ الأَعْراضِ، فإنَّ عادَةَ العُقلاءِ بَذْلُ نُفوسِهمْ وأَمْوالِهمْ دُونَ أعْراضِهمْ، وما فُدِيَ بِالضَّرورِيِّ أوْلى أنْ يكونَ ضَرُورِيًّا. وفي الصَّحيحَينِ، أنَّ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ في خُطْبةِ الوَداعِ: ((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ)) الحديثَ.

----

MASHLAHAT DHARURIYYAH [DARURAT]

Ia adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan, tidak boleh tidak adanya, demi untuk tegaknya kepentingan agama dan dunia, sehingga jika hilang, maka kemashlahatan dunia tidak bisa berdiri tegak pada kebenaran, melainkan pada kerusakan dan kekacauan, dan hilangnya sendi-sendi kehidupan, dan kelak di akhirat, hilangnya keselamatan dan kebahagiaan dan kembali pada kerugian yang nyata.

Maka Mashalahat Dharuriyah itu mencakup penjagaan terhadap salah satu dari LIMA TUJUAN [المَقَاصِد الخَمْسَة] dalam syariat, yaitu:

1] Menjaga agama: Dengan disyariatkannya membunuh dan berperang, membunuh karena murtad dan lainnya yang mewajibkan untuk membunuh demi untuk kemashlahatan Agama, berperang dalam berjihad melawan orang-orang kafir harbi [Kafir yang memerangi umat Islam].

2] Menjaga jiwa: Yaitu dengan disyariatkannya hukum Qishash.

3] Menjaga akal: Yaitu dengan disyariatkannya hukuman HADD [cambuk[bagi yang minum minuman keras.

4] Menjaga keturunan: Yaitu dengan mengharamkan zina dan mewajibkan hukuman atas pelakunya.

5] Menjaga Harta: Yaitu dengan membebankan tanggung jawab kepada yang merusaknya, dan dengan hukum potong tangan bagi pencuri.

Dan ini semua dikumpukan dalam firman Allah SWT:

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ يُبَايِعۡنَكَ عَلَىٰٓ أَن لَّا يُشۡرِكۡنَ بِٱللَّهِ شَيۡـٔٗا وَلَا يَسۡرِقۡنَ وَلَا يَزۡنِينَ وَلَا يَقۡتُلۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ وَلَا يَأۡتِينَ بِبُهۡتَٰنٖ يَفۡتَرِينَهُۥ بَيۡنَ أَيۡدِيهِنَّ وَأَرۡجُلِهِنَّ وَلَا يَعۡصِينَكَ فِي مَعۡرُوفٖ فَبَايِعۡهُنَّ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُنَّ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ﴾

Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai‘at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. [QS. Al-Mumtahanan: 12]

Ath-Thuufi al-Hanbali menambahkan - diikuti oleh at-Taaj as-Subki - keenam, yaitu: menjaga kehormatan [العِرْضُ], karena kebiasaan orang bijak rela mengorbankan jiwa dan harta mereka demi menjaga kehormatan mereka. Dan apa yang ditebus dengan hal yang darurat, maka ia lebih utama untuk dianggap dharurat pula.

Dan dalam Dua Kitab Hadits Sahih, bersabda dalam khotbah Haji Wada':

((إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ))

"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram (wajib dijaga kehormatannya) atas kalian". Al-Hadits.

[Di kutip dari " تَشْنِيفُ المَسَامِعِ شَرْحُ جَمْعِ الجَوَامِعِ (3/15)]

======

KATEGORI KEDUA: MASHLAHAT HAAJIYAAT
[Hajat Kebutuhan Yang Tidak Darurat]
المَقَاصِدُ أَوِ المَصَالِحُ الحَاجِيَةُ

=======

Az-Zarkasyi rahimahullah berkata:

ثانِياً: الحاجِيَّةُ: وهي الأَمْرُ الَّذي يَفتَقِرُ إليه النَّاسُ مِن حيثُ التَّوسِعَةُ ورَفْعِ الحَرَجِ والضِّيقِ اللَّاحِقَينِ بِالإنسانِ.

قالَ الشَّاطِبِيُّ: فَمعْناها أنَّها مُفْتقَرٌ إليها مِن حيثُ التَّوسِعةُ ورَفْعِ الضِّيقِ المُؤَدِّي في الغَالِبِ إلى الحَرَجِ والمَشقَّةِ الَّلاحِقَةِ بِفَوتِ المَطلوبِ، فإذا لَمْ تُراعَ دخَلَ على المُكَلَّفينَ – على الجُمْلَةِ – الحَرَجُ والمَشقَّةُ ولكِنَّه لا يَبْلُغُ مَبْلَغَ الفَسادِ العادِي المُتَوقَّعِ في المَصالحِ العامَّةِ. اهـ.

وذلكَ كالبَيعِ والإِجارَةِ والمُضارَبَةِ والمُساقاةِ وغيرِها، لأِنَّ مالِكَ الشَّيءِ قدْ لا يهَبُهُ فيحتاجُ إلى شِرائِهِ، ولا يُعِيرُهُ فيَحتاجُ إلى اسْتِئْجارِه، وليسَ كُلُّ ذِي مالٍ يُحْسِنُ التِّجارَةَ فيَحتاجُ إلى مَن يَعملُ له في مالِه، وليسَ كُلُّ مالكِ شَجَرٍ يُحْسِنُ القِيامَ على شَجَرِهِ فيَحتاجُ إلى مَن يُساقِيهِ علَيهِ.

قالَ الآمِدِيُّ: وهذا القِسمُ في الرُّتْبَةِ دُونَ القِسمِ الأَوَّلِ ـ أي: الضَّرُورِي ـ ولِهذا جازَ اخْتِلافُ الشَّرائِعِ فيه دُونَ القِسمِ الأَوَّلِ اهـ.

Kedua: Haajiyaat: Ini adalah hal-hal yang dibutuhkan manusia yang sifatnya lebih leluasa, mengangkat rasa kurang nyaman dan kesempitan yang menimpa seseorang.

Asy-Syathibi berkata:

Maka maknanya adalah: kebutuahan yang sifatnya leluasa dan mengangkat kesempitan yang pada umumnya menyebabkan rasa malu dan kesulitan yang disebabkan karena lolosnya sesuatu yang dicari, maka jika tidak diperhatikan dan tidak terpenuhi, akan menimpa pada orang-orang mukallaf – secara totalitas – rasa tidak nyaman dan kesempitan, akan tetapi tidak mencapai pada level kerusakan yang diperkirakan akan menjalar pada mashlahat dan kepentingan publik. [Selesai].

Dan untuk itu contohnya seperti bisnis jual beli, sewa menyewa, kerjasama bagi hasil, kerjasama menyirami ladang, dan lain sebagainya; karena pemilik suatu barang terkadang tidak mau memberikannya cuma-cuma, maka perlu membelinya. Kadang juga tidak mau meminjamkannya, maka perlu menyewanya.

Dan tidak setiap pemilik harta pandai berbisnis, maka dia membutuhkan seseorang untuk mengelola hartanya, dan tidak setiap pemilik kebun pandai mengurus perkebunannya, maka dia membutuhkan seseorang untuk di ajak kerja sama mengairinya.

Al-Aamidi berkata: Bagian ini dalam peringkat dibawah peringkat bagian pertama, yaitu: yang dharurat. Dan untuk bagian kedua ini diperbolehkan adanya perbedaan hukum- hukum syar'i di dalamnya, berbeda di bagian pertama, maka tidak boleh adanya perbedaan di dalamnya.

======

KATEGORI KETIGA: MASHALAHAT TAHSIINIYYAT
[Mashlahat Memperbagus Kondisi].
المَقَاصِدُ أَوِ المَصَالِحُ التَّحْسِينِيَّةُ

======

Tidak diragukan lagi, bahwa syariat Islam datang untuk mengangkat manusia menuju kesempurnaan, menganjurkannya untuk melakukan berbagai macam kebaikan bahkan menekankan-nya. Dan memperingatkannya agar tidak melakukan hal-hal yang buruk dan diperintahkan agar menjauhinya dan membencinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Dalam salah riwayat:

إِنَّمَا بُعِثتُ لأُتَمِّمَ صالِحَ الأخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.”

[HR. Imam Ahmad (8939), dan Al-Bukhari dalam ((Al-Adab Al-Mufrad)) (273) dan Al-Bazzar (8949) dengan sedikit perbedaan.

Dishahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 2833 dan as-Silsilah ash-Shahihah no. 45].

Definisi Mashlahat Tahsiiniyat:

Imam al-Haramaian mendefinisikannya sebagai:

« مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ ضَرُورَةٌ خَاصَّةٌ وَلَا حَاجَةٌ عَامَّةٌ، وَلَكِنَّهُ يَلُوحُ فِيهِ غَرَضٌ فِي جَلْبِ مَكْرَمَةٍ أَوْ نَفْيِ نَقِيضٍ لَهَا... »

“Sesuatu yang tidak terkait dengan darurat khusus atau kebutuhan umum, tetapi di dalamnya muncul tujuan untuk membawa kehormatan atau meniadakan kebalikannya...”[Al-Burhan 2/924]

Dan Al-Ghazali mendefinisikannya sebagai:

«مَا لَا يَرْجِعُ إِلَى ضَرُورَةٍ، وَلَا إِلَى حَاجَةٍ، وَلَكِنْ يَقَعُ مَوْقِعُ التَّحْسِينِ وَالتَّزْيِينِ لِلْمَزَايَا وَالْمَزَائِدِ وَرِعَايَةِ أَحْسَنِ المَنَاهِجِ»

“Apa yang bukan karena darurat dan bukan pula karena kebutuhan, melainkan memperbagus keadaan dan menghiasinya agar nampak berbeda, ada kelebihan serta menjaga konsep-konsep yang terbaik.” [Al-Mustashfa 1/290].

Asy-Syaatibi mendefinisikannya sebagai:

«الأَخْذُ بِمَا يَلِيقُ مِنْ مَحَاسِنِ العَادَاتِ، وَتَجَنُّبُ الأَحْوَالِ المُدَنَّسَاتِ الَّتِي تَأْنَفُهَا العُقُولُ الرَّاجِحَاتُ، وَيَجْمَعُ ذَلِكَ قِسْمُ مَكَارِمِ الأَخْلَاقِ...»

“Mengambil apa yang pantas dari kebaikan adat kebiasaan, dan menghindari kondisi profan yang disangkal oleh pikiran yang benar. [al-Muwaafaqaat 2/11]

Az-Zarkasyi rahimahullah berkata:

ثالِثاً التَّحْسِينيَّةُ: وهي الَّتي تَقتَضِيها المُرُوءَةُ ومَكارِمُ الأَخْلاقِ ومَحاسِنُ العاداتِ بحيثُ لَو فُقِدَتِ المَصلحةُ التَّحْسينيةُ لا يَختلُّ بِفُقْدانِها نِظامُ الحَياةِ كما هو الحالُ في المَصلحةِ الضَّرُوريَّةِ، ولا يَدخُلُ على المُكَلَّفِ حَرَجٌ وضِيقٌ بِفَوَاتِها كما في المَصلَحةِ الحاجيَّةِ، ولكنْ بِفَواتِها تَكونُ الحَياةُ مُستَنْكَرَةً عندَ ذَوِي العُقولِ وأصْحابِ الفِطْرَةِ السَّليمةِ، فالعَملُ بِالمَصلحةِ التَّحسِينيَّةِ يَرجِعُ إلى مَكارِمِ الأَخْلاقِ ومَحاسِنِ العاداتِ.

قالَ الإِمامُ الرَّازِيُّ: هي تَقريرُ النَّاسِ على مَكارِمِ الأَخْلاقِ ومَحاسِنِ الشِّيَمِ، وقدْ سمَّاها القَرَافِيُّ بِما هُو مَحَلُّ التَّتِمَّاتِ لأنَّه تَتِمَّةُ المَصالحِ

Ketiga: Tahsiniyyat [memperbagus]: yaitu yang dituntut kesopanan, akhlak mulia, dan adat-adat kebiasaan baik, sehingga jika mashalahat tahshiyyat ini hilang, maka tatanan kehidupan tidak terganggu dengan kehilangannya, tidak seperti halnya dengan mashlahat dhoruriyyaat.

Dan tidak menimbulkan pada orang mukallaf rasa tidak nyaman dan kesempitan dengan luput nya mashalahat tahshiniyyat, tidak seperti halnya dalam mashalaht haajiyaat, akan tetapi dengan luputnya itu, menyebabkan kehidupan terasa ada yang kurang dan asing bagi mereka yang berakal dan bagi orang-orang yang memiliki fithrah yang saliim. Maka pekerjaan untuk mashlahat tahsiniyyat adalah kembali pada akhlak yang mulia dan kebiasaan-kebiasaan yang baik.

Imam Ar-Razi berkata:

Ini adalah penetapan manusia terhadap akhlak mulia dan tabiat yang bagus. Dan Al-Qarafi menamakannya dengan "مَحَلُّ التَّتِمَّاتِ" [posisi penyempurnaan] karena itu adalah sebagai penyempurna kemashlahatan-kemashlahatan.

===***===

PEMBAHASAN KEDUA:
MANA YANG DIDAHULUKAN MENJAGA AGAMA ATAU NYAWA?

=====

Yang masyhur adalah bahwa menjaga agama lebih diutamakan daripada menjaga nyawa, dan itulah sebabnya jihad fii sabiilillah disyariatkkan. Dan itu dalam rangka untuk menjaga agama - meskipun harta dan nyawa kemungkinan besar akan lenyap dan binasa.

Al-Jalal al-Mahalli berkata dalam Sharh Jam’ al-Jawaami' (3/322):

"(وَالضَّرُورِيُّ) ، وَهُوَ مَا تَصِلُ الْحَاجَةُ إلَيْهِ حَدَّ الضَّرُورَةِ (كَحِفْظِ الدِّينِ) ‌الْمَشْرُوعِ ‌لَهُ ‌قَتْلُ ‌الْكُفَّارِ ‌وَعُقُوبَةُ ‌الدَّاعِينَ ‌إلَى ‌الْبِدَعِ (فَالنَّفْسِ) أَيْ حِفْظُهَا الْمَشْرُوعُ لَهُ الْقِصَاصُ (فَالْعَقْلِ) أَيْ حِفْظُهُ الْمَشْرُوعُ لَهُ حَدُّ السُّكْرِ (فَالنَّسَبِ) أَيْ حِفْظُهُ الْمَشْرُوعُ لَهُ حَدُّ الزِّنَا (فَالْمَالِ) أَيْ حِفْظُهُ الْمَشْرُوعُ لَهُ حَدُّ السَّرِقَةِ وَحَدُّ قَطْعِ الطَّرِيقِ (وَالْعِرْضِ) أَيْ حِفْظُهُ الْمَشْرُوعُ لَهُ حَدُّ القَذْفِ.

‌وَهَذَا ‌زَادَهُ ‌الْمُصَنِّفُ ‌كَالطُّوفِيِّ ‌وَعَطَفَهُ ‌بِالْوَاوِ ‌إشَارَةً ‌إلَى ‌أَنَّهُ ‌فِي ‌رُتْبَةِ ‌الْمَالِ وَعَطَفَ كُلًّا مِنْ الْأَرْبَعَةِ قَبْلَهُ بِالْفَاءِ لِإِفَادَةِ أَنَّهُ دُونَ مَا قَبْلَهُ فِي الرُّتْبَةِ ". انتهى.

“Dan ( yang dharurat ), yaitu kebutuhan yang sampai pada tingkat dharurat (seperti menjaga agama), yang disyariatkan untuknya memerangi orang-orang kafir dan hukuman bagi mereka yang menyeru kepada bid'ah-bid'ah.

Adapun (jiwa) yakni menjaganya, yang disyariatkan hukum Hadd Qishash.

Dan adapun (akal) yakni menjaganya, yang disyariatkan hukum hadd cambuk.

Dan adapun (keturunan) yakni menjaganya, yang disyariatkan hukum hadd zina.

Dan adapun (harta), yakni menjaganya, yang disyariatkan hukum hadd pencuri dan hukum hadd begal.

Dan adapun ( kehormatan), yakni menjaganya, yang disyariatkan baginya hukum hadd al-Qodzaf [hukuman cambuk bagi seseorang yang menuduh orang lain berzina tanpa ada 4 saksi].

Ini ditambahkan oleh penulis, sama seperti Al-Tawfi, dan dia meng-athaf-kannya dengan “waw” untuk menunjukkan bahwa itu berada di peringkat Harta, sementara masing-masing dari empat sebelum itu di-athaf-kan dengan “fa'”, untuk menunjukkan bahwa itu di bawah apa yang sebelumnya di peringkat. [Akhir kutipan].

Karena itu, ketetapan ini disebutkan dalam kitab "مَرَاقِي السَّعُودِ", Abdullah asy-Syinqithy berkata:

دِينٌ فَنَفْسٌ ثُمَّ عَقْلٌ نَسَبُ *** مَالٌ؛ إِلَى ضَرُورَةٍ تَنْتَسِبُ

Agama, nyawa, akal, keturunan dan harta; pada dharurat dinisbatkan

ورتِّبنْ، ولتعطفنْ مُساويا *** عِرْضا على المال، تكُنْ مُوافيا

Secara berurutan. Namun 'athaf-kanlah kehormatan setara dengan harta, karena sepadan.

فحفظها حَتْمٌ على الإنسان *** في كل شِرْعَةٍ من الأديانِ

Karena menjaga semua itu adalah kewajiban bagi manusia dalam syariat setiap agama

[Dan lihat: مَرَاقِي السَّعُودِ إلى مَرَاقِي السَّعُودِ hal.349]

Pengaturan ini merupakan masalah ijtihad, dan terdapat perbedaan pendapat dalam penerapannya.

Ibnu Amiir al-Haajj rahimaullah berkata:

" وَيُقَدَّمُ حِفْظُ الدِّينِ) مِنْ الضَّرُورِيَّاتِ عَلَى مَا عَدَاهُ عِنْدَ الْمُعَارَضَةِ لِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ الْأَعْظَمُ قَالَ تَعَالَى {وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ} [الذاريات: 56] وَغَيْرُهُ مَقْصُودٌ مِنْ أَجْلِهِ وَلِأَنَّ ثَمَرَتَهُ أَكْمَلُ الثَّمَرَاتِ وَهِيَ نَيْلُ السَّعَادَةِ الْأَبَدِيَّةِ فِي جِوَارِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

(ثُمَّ) يُقَدَّمُ حِفْظُ (النَّفْسِ) عَلَى حِفْظِ النَّسَبِ وَالْعَقْلِ وَالْمَالِ لِتَضَمُّنِهِ الْمَصَالِحَ الدِّينِيَّةَ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَحْصُلُ بِالْعِبَادَاتِ وَحُصُولُهَا مَوْقُوفٌ عَلَى بَقَاءِ النَّفْسِ

(ثُمَّ) يُقَدَّمُ حِفْظُ (النَّسَبِ) ‌عَلَى ‌الْبَاقِيَيْنِ ‌لِأَنَّهُ ‌لِبَقَاءِ ‌نَفْسِ ‌الْوَلَدِ ‌إذْ ‌بِتَحْرِيمِ ‌الزِّنَا ‌لَا ‌يَحْصُلُ ‌اخْتِلَاطُ ‌النَّسَبِ فَيُنْسَبُ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ فَيَهْتَمَّ بِتَرْبِيَتِهِ وَحِفْظِ نَفْسِهِ وَإِلَّا أُهْمِلَ فَتَفُوتُ نَفْسُهُ لِعَدَمِ قُدْرَتِهِ عَلَى حِفْظِهَا

(ثُمَّ) يُقَدِّمُ حِفْظَ (الْعَقْلِ) عَلَى حِفْظِ الْمَالِ لِفَوَاتِ النَّفْسِ بِفَوَاتِهِ حَتَّى أَنَّ الْإِنْسَانَ بِفَوَاتِهِ يَلْتَحِقُ بِالْحَيَوَانَاتِ وَيَسْقُطُ عَنْهُ التَّكْلِيفُ وَمِنْ ثَمَّةَ وَجَبَ بِتَفْوِيتِهِ مَا وَجَبَ بِتَفْوِيتِ النَّفْسِ وَهِيَ الدِّيَةُ الْكَامِلَةُ قُلْت وَلَا يَعْرَى كَوْنُ بَعْضِ هَذِهِ التَّوْجِيهَاتِ مُفِيدَةً لِتَرْتِيبِ هَذِهِ الْمَذْكُورَاتِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ مِنْ التَّقْدِيمِ وَالتَّأْخِيرِ مِنْ تَأَمُّلٍ

(ثُمَّ) حِفْظُ (الْمَالِ وَقِيلَ) يُقَدِّمُ (الْمَالَ) أَيْ حِفْظَهُ فَضْلًا عَنْ حِفْظِ النَّفْسِ وَالْعَقْلِ وَالنَّسَبِ (عَلَى) حِفْظِ (الدِّينِ) كَمَا حَكَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ فَكَأَنَّ الْمُصَنِّفَ نَبَّهَ بِالْأَدْنَى عَلَى الْأَعْلَى بِطَرِيقٍ أَوْلَى وَقَدْ كَانَ الْأَحْسَنُ تَقْدِيمَ هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ عَلَى الدِّينِيِّ لِأَنَّهَا حَقُّ الْآدَمِيِّ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى الضِّيقِ وَالْمُشَاحَّةِ وَيَتَضَرَّرُ بِفَوَاتِهِ وَالدِّينِيُّ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى التَّيْسِيرِ وَالْمُسَامَحَةِ وَهُوَ لِغِنَاهُ وَتَعَالِيهِ لَا يَتَضَرَّرُ بِفَوَاتِهِ (وَلِذَا) أَيْ تَقْدِيمِ هَذِهِ عَلَى الدِّينِيِّ (تُتْرَكُ الْجُمُعَةُ وَالْجَمَاعَةُ) وَهُمَا دِينِيَّانِ (لِحِفْظِهِ) أَيْ الْمَالِ وَهُوَ دُنْيَوِيٌّ (وَلِأَبِي يُوسُفَ تُقْطَعُ) الصَّلَاةُ (لِلدِّرْهَمِ) وَلَفْظُ الْخُلَاصَةِ وَلَوْ سُرِقَ مِنْهُ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ دِرْهَمٌ يَقْطَعُ الْفَرْضَ وَالنَّفَلَ انْتَهَى

“Menjaga agama adalah dharurat yang lebih diutamakan daripada dharurat-dharurat lainnya, ketika terjadi tabrakan, karena dharurat menjaga agama itu adalah tujuan terbesar. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾

" Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku". [QS. Adz-Dzaariyaat: 56]

Dan karena yang lainnya itu ditujukan untuk agama, dan karena buahnya [hasilnya] adalah buah yang paling sempurna, yaitu memperoleh kebahagiaan abadi, di sisi Tuhan semesta alam.

(Kemudian) menjaga (jiwa) itu didahulukan dari pada menjaga keturunan, akal dan harta, karena didalamnya terkandung mashlahat agama, karena, ia hanya bisa dicapai dengan ibadah, dan perolehannya bergantung pada kelangsungan hidup.

(Kemudian) menjaga (keturunan) diutamakan dari pada yang sisanya, karena yang demikian itu demi untuk kelangsungan jiwa anak keturunan; oleh karena itu diharamkan zina, agar tidak terjadi campur aduk nasab anak, sehingga sang anak bisa dinasabkan pada satu ayah, maka sang ayah akan mengasuhnya dengan baik dan menjaga jiwanya, jika tidak maka sang ayah akan melalaikannya sehingga sang anak kehilangan nyawanya karena ketidakmampuannya untuk menjaga dirinya.

(Kemudian) menjaga (akal) lebih diutamakan daripada memelihara harta; Karena hilangnya nyawa disebabkan kehilangan akal, sehingga seseorang yang kehilangan akalnya ada kesamaan dengan hewan, dan kewajiban menjalankan hukum taklifi lepas darinya.

Dan dari sani jika seseorang yang menghilangkan akal orang lain, maka terkena hukum diat menghilangkan nyawa, yaitu diat penuh [100 ekor unta].

Saya katakan: Tidak heran jika sebagain arahan ini berguna untuk merunut yang disebutkan di atas, dengan cara mendahulukan dan mengakhirkan, bagi orang yang mau mencermatinya.

(Kemudian) menjaga (harta. Dan ada yang berpendapat: harta ) lebih didahulukan, yakni lebih utama menjaganya dari pada menjaga nyawa, akal dan keturunan.

(Di atas) menjaga (agama) Seperti yang dihikayatkan oleh lebih dari satu orang. Maka seolah-olah penyusun kitab ini mengingatkan yang terendah ke yang tertinggi, dengan cara lebih utama, dan yang lebih baik adalah mendahulukan yang keempat dari pada agama; Karena yang empat ini adalah hak adami [asasi manusia].

Dan hak manuisa dibangun diatas dasar pada kesusahan dan perselisihan serta membahayakan jika terjadi keluputan. Sementara agama adalah hak Allah, yang mana hak Allah ini di bangun di atas dasar kemudahan dan pemaafan; karena Allah Maha Kaya dan Maha Tinggi dan tidak membahayakan dirinya oleh kehilangannya.

(Maka dari itu) yakni mendahulukan yang ini dari pada yang agamis ( shalat jum'at dan shalat berjamaah boleh ditinggalkan ) dan keduanya adalah agamis, (untuk menjaganya), yaitu harta yang bersifat duniawi.

(Dan bagi Abu Yusuf: Shalat diputus demi dirham-dirham ). Dan redaksi kitab "al-Khulashah" adalah: Jika ada yang mencuri satu dirham miliknya atau milik orang lain, maka boleh memutuskan shalat fardhu dan shalat sunnah. [Baca: at-Taqrii wa at-Tahbiir 3/231]

Anda lihat bahwa pendapat yang mengdahulukan menjaga nyawa adalah pendapat yang terkemuka. Dan ini banyak contohnya, seperti:

Diperbolehkannya mengucapkan kata "saya kafir" ketika dipaksa, demi untuk mempertahankan nyawa.

Dan diperbolehkannya makan bangkai dan minum minuman keras, ketika terpaksa, demi untuk menjaga nyawa.

Selain itu ada lagi diperbolehkan meninggalkan shalat Jum'at dan berjamaah jika ia dalam keadaan ketakutan terhadap musuh atau binatang buas dan sejenisnya.

PERNYATAAN AL-AAMIDI:

Al-Aamidi dengan panjang lebar membela pendapat yang mendahulukan menjaga pokok agama serta membantah dan menjawab semua dalil pendapat yang menyelisihinya.

Dan sebagian dari perkataannya adalah:

“Seandainya ADA YANG MENGATAKAN:

فَإِنْ قِيلَ: بَلْ مَا يُفْضِي إِلَى حِفْظِ مَقْصُودِ النَّفْسِ أَوْلَى وَأَرْجَحُ، ‌وَذَلِكَ ‌لِأَنَّ ‌مَقْصُودَ ‌الدِّينِ ‌حَقُّ ‌اللَّهِ ‌تَعَالَى ‌وَمَقْصُودَ ‌غَيْرِهِ ‌حَقٌّ ‌لِلْآدَمِيِّ، وَحَقَّ الْآدَمِيِّ مُرَجَّحٌ عَلَى حُقُوقِ اللَّهِ تَعَالَى لِأَنَّهَا مَبْنِيَّةٌ عَلَى الشُّحِّ وَالْمُضَايَقَةِ، وَحُقُوقَ اللَّهِ تَعَالَى مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْمُسَامَحَةِ وَالْمُسَاهَلَةِ مِنْ جِهَةِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَتَضَرَّرُ بِفَوَاتِ حَقِّهِ، فَالْمُحَافَظَةُ عَلَيْهِ أَوْلَى مِنَ الْمُحَافَظَةِ عَلَى حَقٍّ لَا يَتَضَرَّرُ مُسْتَحِقُّهُ بِفَوَاتِهِ، وَلِهَذَا رَجَّحْنَا حُقُوقَ الْآدَمِيِّ عَلَى حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوِ ازْدَحَمَ حَقُّ اللَّهِ تَعَالَى وَحَقُّ الْآدَمِيِّ فِي مَحَلٍّ وَاحِدٍ، وَضَاقَ عَنِ اسْتِيفَائِهِمَا بِأَنْ يَكُونَ قَدْ كَفَرَ وَقَتَلَ عَمْدًا عُدْوَانًا نَقْتُلُهُ قِصَاصًا لَا بِكُفْرِهِ.

وَأَيْضًا قَدْ رَجَّحْنَا مَصْلَحَةَ النَّفْسِ عَلَى مَصْلَحَةِ الدِّينِ، حَيْثُ خَفَّفْنَا عَنِ الْمُسَافِرِ بِإِسْقَاطِ الرَّكْعَتَيْنِ وَأَدَاءِ الصَّوْمِ، وَعَنِ الْمَرِيضِ بِتَرْكِ الصَّلَاةِ قَائِمًا وَتَرْكِ أَدَاءِ الصَّوْمِ، وَقَدَّمْنَا مَصْلَحَةَ النَّفْسِ عَلَى مَصْلَحَةِ الصَّلَاةِ فِي صُورَةِ إِنْجَاءِ الْغَرِيقِ، وَأَبْلَغُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّا رَجَّحْنَا مَصْلَحَةَ الْمَالِ عَلَى مَصْلَحَةِ الدِّينِ حَيْثُ جَوَّزْنَا تَرْكَ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ ضَرُورَةَ حِفْظِ أَدْنَى شَيْءٍ مِنَ الْمَالِ، وَرَجَّحْنَا مَصَالِحَ الْمُسْلِمِينَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِبَقَاءِ الذِّمِّيِّ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ عَلَى مَصْلَحَةِ الدِّينِ حَتَّى عَصَمْنَا دَمَهُ وَمَالَهُ مَعَ وُجُودِ الْكُفْرِ الْمُبِيحِ.

Sesungguhnya yang menyebabkan pada tujuan penjagaan nyawa itu lebih utama dan lebih rajih, karena tujuan agama adalah hak Allah Ta'aala, sedangkan tujuan orang lain adalah hak manusia, dan hak manusia lebih diutamakan daripada hak Allah Ta'aala karena hak Adami didasarkan pada kepelitan dan kesempitan. Dan hak-hak Allah Ta'aala didasarkan pada pengampunan dan kelonggaran, di satu sisi Allah Ta'aala tidak merasa dirugikan dengan kehilangan haknya, jadi menjaganya lebih penting daripada menjaga hak yang pemilik haknya tidak dirugikan karena kehilangannya.

Dan karena itu kami mentarjih [mendahulukan] hak-hak manusia di atas hak Allah Ta'aala, dengan dalil bahwa jika hak Allah Ta'aala dan hak manusia berdesakan dalam satu tempat, dan ia menjadi sangat sempit dan tidak ada ruang untuk bisa memenuhi keduanya - contohnya seseorang berbuat murtad dan membunuh dengan sengaja karena permusuhan, maka kami akan membunuhnya sebagai hukum qishash, bukan karena kemurtadannya.

Juga, Kami mengutamakan mashlahat nyawa daripada mashlahat agama, sebagaimana kami meringankan orang musafir dengan mengurangi dua rakaat dan dibolehkan meninggalkan puasa, dan bagi orang sakit boleh meninggalkan shalat dengan cara berdiri dan boleh meninggalkan pelaksanaan puasa. Dan Kami lebih mendahulukan mashlahat nyawa di atas mashlahat shalat, contohnya demi untuk menyelamatkan orang yang mau tenggelam.

Dan lebih gamblang dari itu, kami mentarjih mendahulukan mashalaht harta daripada mashalahat agama, karena kami membolehkan meninggalkan shalat Jum'at dan shalat berjamaah karena darurat menjaga harta meskipun jumlahnya yang paling terendah sekalipun. Dan kami lebih mendahulukan mashlahat umat Islam - terkait dengan membiarkan kelangsungan hidup orang-orang kafir dzimmi di tengah-tengah mereka - dari pada mashlahat agama, bahkan kami wajib melindungi darah dan harta orang-orang kafir dzimmi, meskipun dengan adanya kekafiran itu, [hukum asalnya] diperbolehkan [untuk tidak melindunginya].

Lalu al-Aamidi berkata: " KAMI JAWAB:

قُلْنَا: أَمَّا النَّفْسُ فَكَمَا هِيَ مُتَعَلِّقُ حَقِّ الْآدَمِيِّ بِالنَّظَرِ إِلَى بَعْضِ الْأَحْكَامِ، فَهِيَ مُتَعَلِّقُ حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى بِالنَّظَرِ إِلَى أَحْكَامٍ أُخَرَ، وَلِهَذَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ قَتْلُ نَفْسِهِ وَالتَّصَرُّفُ بِمَا يُفْضِي إِلَى تَفْوِيتِهَا، فَالتَّقْدِيمُ إِنَّمَا هُوَ لِمُتَعَلِّقِ الْحَقَّيْنِ وَلَا يَمْتَنِعُ تَقْدِيمُ حَقِّ اللَّهِ وَحَقِّ الْآدَمِيِّ عَلَى مَا تَمَحَّضَ حَقًّا لِلَّهِ.

كَيْفَ وَأَنَّ مَقْصُودَ الدِّينِ مُتَحَقِّقٌ بِأَصْلِ شَرْعِيَّةِ الْقَتْلِ وَقَدْ تَحَقَّقَ، وَالْقَتْلُ إِنَّمَا هُوَ لِتَحْقِيقِ الْوَعِيدِ بِهِ، وَالْمَقْصُودُ بِالْقِصَاصِ إِنَّمَا هُوَ التَّشَفِّي وَالِانْتِقَامُ، وَلَا يَحْصُلُ ذَلِكَ لِلْوَارِثِ بِشَرْعِ الْقَتْلِ دُونَ الْقَتْلِ بِالْفِعْلِ عَلَى مَا يَشْهَدُ بِهِ الْعُرْفُ، فَكَانَ الْجَمْعُ بَيْنَ الْحَقَّيْنِ أَوْلَى مِنْ تَضْيِيعِ أَحَدِهِمَا.

كَيْفَ وَأَنَّ تَقْدِيمَ حَقِّ الْآدَمِيِّ هَاهُنَا لَا يُفْضِي إِلَى تَفْوِيتِ حَقِّ اللَّهِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْعُقُوبَةِ الْبَدَنِيَّةِ مُطْلَقًا؛ لِبَقَاءِ الْعُقُوبَةِ الْأُخْرَوِيَّةِ، وَتَقْدِيمَ حَقِّ اللَّهِ مِمَّا يُفْضِي إِلَى فَوَاتِ حَقِّ الْآدَمِيِّ مِنَ الْعُقُوبَاتِ الْبَدَنِيَّةِ مُطْلَقًا، فَكَانَ ذَلِكَ أَوْلَى.

وَأَمَّا التَّخْفِيفُ عَنِ الْمُسَافِرِ وَالْمَرِيضِ فَلَيْسَ تَقْدِيمًا لِمَقْصُودِ النَّفْسِ عَلَى مَقْصُودِ أَصْلِ الدِّينِ بَلْ عَلَى فُرُوعِهِ، وَفُرُوعُ أَصْلٍ غَيْرُ أَصْلِ الشَّيْءِ، ثُمَّ وَإِنْ كَانَ فَمَشَقَّةُ الرَّكْعَتَيْنِ فِي السَّفَرِ تَقُومُ مَقَامَ مَشَقَّةِ الْأَرْبَعِ فِي الْحَضَرِ، وَكَذَلِكَ صَلَاةُ الْمَرِيضِ قَاعِدًا بِالنِّسْبَةِ إِلَى صَلَاتِهِ قَائِمًا وَهُوَ صَحِيحٌ، فَالْمَقْصُودُ لَا يَخْتَلِفُ.

وَأَمَّا أَدَاءُ الصَّوْمِ فَلِأَنَّهُ لَا يَفُوتُ مُطْلَقًا، بَلْ يَفُوتُ إِلَى خُلْفٍ وَهُوَ الْقَضَاءُ، وَبِهِ يَنْدَفِعُ مَا ذَكَرُوهُ مِنْ صُورَةِ إِنْقَاذِ الْغَرِيقِ وَتَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لِحِفْظِ الْمَالِ أَيْضًا، وَبَقَاءِ الذِّمِّيِّ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُسْلِمِينَ مَعْصُومَ الدَّمِ وَالْمَالِ لَيْسَ لِمَصْلَحَةِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ لِأَجْلِ اطِّلَاعِهِ عَلَى مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ وَقَوَاعِدِ الدِّينِ؛ لِيَسْهُلَ انْقِيَادُهُ وَيَتَيَسَّرَ اسْتِرْشَادُهُ، وَذَلِكَ مِنْ مَصْلَحَةِ الدِّينِ لَا مِنْ مَصْلَحَةِ غَيْرِهِ

Adapun nyawa, sebagaimana ia berkaitan dengan hak manusia dalam pandangan sebagian hukum-hukum, maka ia juga berkaitan dengan hak Allah Ta'aala dalam pandangan hukum-hukum lainnya, dan oleh karena itu dilarang baginya untuk membunuh dirinya sendiri. dan dilarang melakukan hal-hal yang menyebabkan kehilangan nyawanya.

Maka mendahulukannya itu hanya berlaku untuk yang yang berkaitan kedua hak tersebut, dan tidak menutup kemungkinan untuk mendahulukan hak Allah Ta'aala dan juga mendahulukan hak manusia di atas sesuatu yang murni ada hak Allah.

Adapun keringanan beban bagi musafir dan orang sakit, maka itu bukan mendahulukan tujuan mashlahat nyawa di atas tujuan pokok asal agama, melainkan hanya cabang-cabangnya, dan cabang-cabang pokoknya, bukan pokok asal sesuatu itu.

Kemudian jika ya, maka kesulitan [masyaqqah] dua rakaat dalam safar menggantikan kesulitan empat rakaat ketika dikampung halaman, demikian pula shalat orang sakit yang duduk dibandingkan dengan shalatnya berdiri saat dia sehat. Maka maksudnya tidak berbeda.

Dan adapun melaksanakan puasa maka sebenarnya tidak hilang secara mutlak, melainkan diakhirkan pelaksanaannya, yaitu diqodho. Dan dengan itu menolak apa yang mereka sebut dengan gambaran menyelamatkan orang yang tenggelam. Dan juga meninggalkan shalat Jumat dan jamaah demi untuk menyelamatkan harta. Dan kelangsungan hidup orang-orang kafir dzimmi di tengah-tengah umat Islam dengan melindungi darah dan harta mereka, yang mana tidak ada mashlahat bagi umat Islam.

Akan tetapi, untuk memperlihatkan pada mereka tentang kebaikan-kebaikan Syariat Islam dan aturan-aturan agamanya; Untuk memudahkan dalam mengarahkannya, dan untuk memudahkan dalam membimbingnya, dan itu untuk mashlahat agama dan bukan untuk mashlahat lain-nya. [Baca: الإِحْكَامُ فِي أُصُولِ الأَحْكَامِ (4/275-276)]

Dengan dimikian perbedaan pendapat ini adalah perbedaan yang mu'tabar [bisa dipertimbangkan], dan masing-masing pendapat memiliki dalil-dalil.

====****===

PEMBAHASAN KE TIGA : 
KAIDAH RUKHAH DAN DARURAT TIDAK TERBATAS PADA INDIVIDU

Syariah tidak membatasi kaidah rukhah (keringanan) dan dhorurat (keadaan darurat) hanya pada individu, dan tidak pula mengekangnya pada mereka saja. Kaidah ini bersifat luas, mencakup kelompok dan entitas, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah:

«إِنَّ أُصُولَ الشَّرِيعَةِ تُفَرِّقُ -فِي جَمِيعِ مَوَارِدِهَا- بَيْنَ القَادِرِ وَالْعَاجِزِ، وَالْمُفَرِّطِ وَالْمُعْتَدِي وَمَنْ لَيْسَ بِمُفَرِّطٍ وَلَا مُعْتَدٍ. وَالتَّفْرِيقُ بَيْنَهُمَا أَصْلٌ عَظِيمٌ مُعْتَمَدٌ، وَهُوَ الْوَسَطُ الَّذِي عَلَيْهِ الأُمَّةُ الْوَسَطُ»

“Sesungguhnya ushul (prinsip) syariah membedakan — dalam semua kasusnya — antara yang mampu dan yang lemah, antara yang melalaikan dan yang melampaui batas, dan antara yang bukan melalaikan maupun melampaui batas. Pembedaan ini adalah prinsip agung yang dapat dijadikan rujukan, dan itulah jalan tengah yang dianut oleh umat”. [Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah (21/141)].

Diketahui bahwa negara dan kelompok tidak selalu berada dalam kondisi kuat dan stabil; mereka bisa saja mengalami kelemahan dan kerentanan, yang dapat membuat mereka terpaksa menghadapi tekanan atau paksaan.

Jika ada yang mengatakan bahwa hukum rukhah dan keadaan darurat tidak berlaku bagi mereka, berarti dia telah menempatkan kelompok dan negara pada satu pilihan yang dapat membawa pada kehancuran atau hampir membinasakan mereka. Padahal, sunnah Nabi memperhatikan kondisi seperti ini.

Misalnya, beliau memerintahkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah ketika tekanan Quraisy meningkat, dan mereka berada di bawah perlindungan Raja Najasyi yang beragama Nasrani.

Di Madinah, beliau mengadakan aliansi dengan musyrik dan Yahudi di dalam kota, serta membuat perjanjian dengan musyrik di sekeliling kota.

Dalam Perang Khandaq, beliau berupaya berdamai dengan 'Uyaynah bin Hisn dan Al-Harits bin 'Awf, pemimpin suku Ghatafan, dengan menawarkan sepertiga hasil buah kota agar mereka mundur dari pengepungan, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut.

Ini adalah kaidah syar’i yang agung yang ditegaskan oleh para ulama, yaitu:

«المَوَازَنَةُ بَيْنَ المَصَالِحِ وَالمَفَاسِدِ»

“Menyeimbangkan antara maslahat dan mafsadah.”

Misalnya, Al-'Izz Ibnu 'Abd al-Salam rahimahullah berkata:

«إِذَا اجْتَمَعَتْ مَصَالِحٌ وَمَفَاسِدُ: فَإِنْ أَمْكَنَ دَفْعُ المَفَاسِدِ وَتَحْصِيلُ المَصَالِحِ فَعَلْنَا ذَلِكَ، وَإِنْ تَعَذَّرَ الجَمْعُ: فَإِنْ رَجَحَتِ المَصَالِحُ حَصَّلْنَاهَا وَلَا نُبَالِي بِارْتِكَابِ المَفَاسِدِ، وَإِنْ رَجَحَتِ المَفَاسِدُ دَفَعْنَاهَا وَلَا نُبَالِي بِفَوَاتِ المَصَالِحِ»

“Jika maslahat dan mafsadah berkumpul, maka jika memungkinkan menolak mafsadah dan memperoleh maslahat, lakukanlah. Jika tidak mungkin menggabungkannya, maka jika maslahat lebih unggul, raihlah dan jangan memperhatikan terjadinya mafsadah; jika mafsadah lebih unggul, tolaklah dan jangan memperhatikan hilangnya maslahat”\[Al-Fawa’id fi Ikhtisar al-Maqasid, Al-‘Izz ibnu ‘Abd al-Salam, hal. 47].

Ibn Taimiyah juga membahas hal ini di berbagai fatwa dan karyanya, seperti yang beliau katakan:

«الوَاجِبُ تَحْصِيلُ المَصَالِحِ وَتَكْمِيلُهَا وَتَعْطِيلُ المَفَاسِدِ وَتَقْلِيلُهَا؛ فَإِذَا تَعَارَضَتْ كَانَ تَحْصِيلُ أَعْظَمِ المَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَدَفْعُ أَعْظَمِ المَفْسَدَتَيْنِ مَعَ اِحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا هُوَ المَشْرُوعُ».

“Yang diwajibkan adalah memperoleh maslahat dan menyempurnakannya, serta mencegah mafsadah dan menguranginya. Jika keduanya bertentangan, maka memperoleh maslahat yang lebih besar dengan mengorbankan yang lebih kecil, dan menolak mafsadah yang lebih besar dengan kemungkinan timbulnya yang lebih kecil, itu adalah yang disyari’atkan”. [Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah (28/284)].

Beliau juga menerapkan kaidah ini dengan mengatakan:

«مَنْ وَلِيَ وِلَايَةً يَقْصِدُ بِهَا طَاعَةَ اللهِ وَإِقَامَةَ مَا يُمْكِنُهُ مِنْ دِينِهِ وَمَصَالِحِ المُسْلِمِينَ، وَأَقَامَ فِيهَا مَا يُمْكِنُهُ مِنَ الوَاجِبَاتِ وَاجْتِنَابِ مَا يُمْكِنُهُ مِنَ المُحَرَّمَاتِ؛ لَمْ يُؤَاخَذْ بِمَا يَعْجِزُ عَنْهُ؛ فَإِنَّ تَوْلِيَةَ الأَبْرَارِ خَيْرٌ لِلأُمَّةِ مِنْ تَوْلِيَةِ الفُجَّارِ. وَمَنْ كَانَ عَاجِزًا عَنْ إِقَامَةِ الدِّينِ بِالسُّلطَانِ وَالجِهَادِ، فَفَعَلَ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ النَّصِيحَةِ بِقَلْبِهِ، وَالدُّعَاءُ لِلأُمَّةِ وَمَحَبَّةُ الخَيْرِ، وَفَعَلَ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنَ الخَيْرِ؛ لَمْ يُكَلَّفْ مَا يَعْجِزُ عَنْهُ»

“Barangsiapa memegang kepemimpinan dengan tujuan menaati Allah dan menegakkan sebisa mungkin agama serta maslahat kaum Muslimin, dan menegakkan kewajiban sebisa mungkin serta menjauhi yang haram sebisa mungkin, maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang tidak mampu dilakukannya.

Kepemimpinan orang saleh lebih baik bagi umat daripada kepemimpinan orang fasik.

Barangsiapa tidak mampu menegakkan agama melalui kekuasaan dan jihad, tetapi melakukan nasihat dengan hatinya, mendoakan umat, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan sebisa mungkin, maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang tidak mampu dilakukannya”. [Baca: Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah (28/396)].

****

KEWAJIBAN MENEGAKKAN AGAMA TERGANTUNG PADA KEMAMPUAN DAN KEKUATAN

Para ulama menetapkan bahwa kewajiban menegakkan agama bergantung pada kemampuan dan kekuatan. Jika menegakkan agama sepenuhnya tidak mungkin dalam kondisi lemah, maka yang mungkin dilakukan harus dijalankan, dan orang-orang dimaafkan atas apa yang tidak mampu mereka lakukan.

Ibnu Taimiyah berkata:

«وَمِنْ هَذَا البَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقِ عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ، بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا»

“Termasuk dari bab ini adalah penunjukan Nabi Yusuf ash-Shiddiq sebagai mengelola harta kekayaan hasil bumi untuk raja Mesir, bahkan permintaan untuk menjadikannya pengawas gudang-gudang harta hasil bumi itu, padahal dia seorang nabi, sementara kaumnya kafir”. [Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah (20/57)].

Allah mensyaratkan pelaksanaan hukum — baik kewajiban maupun larangan — berdasarkan kemampuan dan kekuatan, sebagaimana dalam firman-Nya yang menekankan untuk bertakwa sesuai kemampuan, bahwa Allah tidak membebani seseorang melampaui kemampuannya, dan bahwa hukum yang diharamkan dapat diizinkan untuk diterapkan jika dalam keadaan terpaksa.

Oleh karena itu, para ulama menegaskan bahwa kewajiban menegakkan agama bergantung pada kemampuan. Jika menegakkan agama sepenuhnya tidak mungkin dalam kondisi lemah, yang mungkin harus dijalankan dilakukan, dan maaf diberikan atas yang tidak bisa dilakukan.

Bukti mereka adalah penunjukan Nabi Yusuf sebagai menteri di negeri Al-‘Aziz. Ibnu Taimiyah berkata:

وَمِنْ هَذَا البَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقِ عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ، بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا

“Termasuk dari bab ini adalah penunjukan Yusuf ash-Shiddiq sebagai pengelola harta kekayaan negeri untuk raja Mesir, bahkan permintaan untuk menjadikannya pengelola harta itu, padahal dia dan kaumnya kafir”. [Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah (20/56)].

Lalu Ibnu Taimiyah berkata :

وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَعَ كُفْرِهِمْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ عَادَةٌ وَسُنَّةٌ فِي قَبْضِ الْأَمْوَالِ وَصَرْفِهَا عَلَى حَاشِيَةِ الْمَلِكِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَجُنْدِهِ وَرَعِيَّتِهِ وَلَا تَكُونُ تِلْكَ جَارِيَةً عَلَى سُنَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَعَدْلِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ يُوسُفُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَفْعَلَ كُلَّ مَا يُرِيدُ

Diketahui bahwa meskipun mereka kafir, tentu ada kebiasaan dan tradisi bagi mereka dalam mengelola harta dan menyalurkannya kepada pejabat raja, keluarganya, tentaranya, dan rakyatnya; hal itu tidak selalu sejalan dengan prinsip para nabi dan keadilan mereka. Yusuf tidak bisa melakukan semua yang dia kehendaki, namun dia melakukan yang mungkin dari keadilan dan kebaikan, dan semua itu termasuk prinsip bertakwa sesuai kemampuan. [Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah (20/56)].

Lalu Ibnu Taimiyah berkata :

وَهَذَا كُلُّهُ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾».

Dan semua itu termasuk dalam firman-Nya: “Maka bertakwalah kepada Allah sejauh yang kamu mampu.” [[Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah (20/57)]

Ibn Taimiyah juga menegaskan melalui kisah Raja Najasyi yang masuk Islam secara diam-diam dan menyembunyikan imannya karena tidak mampu menunjukkannya di hadapan kaumnya. Dia tidak mampu menegakkan seluruh hukum yang diinginkan dari syariah karena keterbatasannya, lalu berkata:

«وَالنَّجَاشِيُّ مَا كَانَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَحْكُمَ بِحُكْمِ القُرْآنِ؛ فَإِنَّ قَوْمَهُ لَا يُقِرُّونَهُ عَلَى ذَلِكَ»

“Dan Najasyi tidak mungkin memerintah sesuai hukum Al-Qur’an, karena kaumnya tidak akan mengizinkannya”\[Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyah (19/219)].

Kemudian beliau memberikan contoh dari zamannya, mengatakan:

«وَكَثِيرًا مَا يَتَوَلَّى الرَّجُلُ بَيْنَ المُسْلِمِينَ وَالتَّتَارِ قَاضِيًا، بَلْ وَإِمَامًا، وَفِي نَفْسِهِ أُمُورٌ مِنَ العَدْلِ يُرِيدُ أَنْ يَعْمَلَ بِهَا فَلَا يُمْكِنُهُ ذَلِكَ، بَلْ هُنَاكَ مَنْ يَمْنَعُهُ ذَلِكَ، وَلَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا. وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ عُودِيَ وَأُوذِيَ عَلَى بَعْضِ مَا أَقَامَهُ مِنَ العَدْلِ، وَقِيلَ: إِنَّهُ سُمَّ عَلَى ذَلِكَ»

“Seringkali seorang memimpin antara kaum Muslim dan kaum Tatar sebagai hakim, bahkan sebagai imam, dan dalam hatinya ada hal-hal dari keadilan yang ingin dia tegakkan, tetapi tidak mampu melakukannya, bahkan ada yang menghalanginya. Allah tidak membebani seorang pun melampaui kemampuannya. Umar bin ‘Abd al-‘Aziz pun dicelakai dan dihalangi atas sebagian keadilan yang ditegakkannya, bahkan dikabarkan dia diracun karenanya”. [Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyah (19/219)].

Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa hujjah Allah atas hamba-Nya, baik dalam hal kewajiban maupun larangan :

«إِنَّمَا تَقُومُ بِشَيْئَيْنِ: التَّمَكُّنُ مِنَ العِلْمِ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ. وَالْقُدْرَةُ عَلَى العَمَلِ بِهِ… وَأَنَّ الوُجُوبَ وَالتَّحْرِيمَ مَشْرُوطٌ بِإِمْكَانِ العِلْمِ وَالعَمَلِ»

“hanya berdiri pada dua hal: kemampuan mengetahui apa yang telah Allah turunkan, dan kemampuan melaksanakannya… Kewajiban dan larangan bergantung pada kemungkinan mengetahui dan melaksanakan”. [Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyah (20/57-61)].

Ibnu Sa‘di rahimahullah berkata:

«إِنْ أَمْكَنَ أَنْ تَكُونَ الدَّوْلَةُ لِلْمُسْلِمِينَ وَهُمْ الحُكَّامُ فَهُوَ المُتَعَيَّنُ، وَلَكِنْ لِعَدَمِ إِمْكَانِ هَذِهِ المَرْتَبَةِ، فَالْمَرْتَبَةُ الَّتِي فِيهَا دَفْعٌ وَوِقَايَةٌ لِلدِّينِ وَالدُّنْيَا مُقَدَّمَةٌ، وَاللهُ أَعْلَمُ»

“Jika memungkinkan negara berada di tangan kaum Muslim yang menjadi penguasa, maka itu yang utama. Tetapi jika kemungkinan itu tidak ada, maka posisi yang memungkinkan perlindungan dan pemeliharaan agama dan dunia diutamakan, dan Allah Maha Mengetahui”.

Dalam biografi Umar bin ‘Abd al-‘Aziz rahimahullah disebutkan :

أَنَّ ابْنَهُ عَبْدَ المَلِكِ قَالَ لَهُ: «مَا لَكَ لَا تُنَفِّذُ الأُمُورَ؟ فَوَاللَّهِ مَا أُبَالِي لَوْ أَنَّ القُدُورَ غَلَتْ بِي وَبِكَ!» فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: «لَا تَعْجَلْ يَا بُنَيَّ، فَإِنَّ اللَّهَ ذَمَّ الخَمْرَ فِي القُرْآنِ مَرَّتَيْنِ، وَحَرَّمَهَا فِي الثَّالِثَةِ، وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ أَحْمِلَ الحَقَّ عَلَى النَّاسِ جُمْلَةً، فَيَدْفَعُوهُ جُمْلَةً، وَيَكُونَ مِنْ ذَا فِتْنَةٍ!»

Bahwa putranya, Abdul Malik, berkata kepadanya: “Mengapa Engkau tidak melaksanakan urusan-urusan itu? Demi Allah, aku tidak peduli jika panci-panci mendidih atasku maupun atasmu!”

Maka Umar menjawab: “Jangan tergesa, wahai anakku, karena Allah telah mengecam khamar dalam Al-Qur’an dua kali, dan mengharamkannya pada yang ketiga, dan aku khawatir membawa kebenaran secara keseluruhan kepada manusia, sehingga mereka menolaknya secara keseluruhan, dan hal itu menjadi sumber fitnah!”. [Al-Muwafaqat, Asy-Syatibi (2/93-94)].

Asy-Syatibi menanggapi kisah tersebut dengan berkata:

«وَهَذَا مَعْنًى صَحِيحٌ مُعْتَبَرٌ فِي الاسْتِقْرَاءِ العَادِيِّ، فَكَانَ مَا كَانَ أُجْرِيَ بِالمَصْلَحَةِ وَأُجْرِيَ عَلَى جِهَةِ التَّأَنِّيسِ»

“Dan ini merupakan makna yang benar dan dapat dijadikan pertimbangan dalam induksi biasa, karena apa yang terjadi dilaksanakan sesuai dengan maslahat dan dilakukan secara bertahap”\[Al-Muwafaqat, Asy-Syatibi (2/93-94)].

Berdasarkan prinsip ini, Syaikh ‘Abd al-Rahman bin Sa‘di rahimahullah berkata:

«لَوْ سَاعَدَ المُسْلِمُونَ الَّذِينَ تَحْتَ وِلَايَةِ الكُفَّارِ وَعَمِلُوا عَلَى جَعْلِ الوِلَايَةِ جُمْهُورِيَّةً يَتَمَكَّنُ فِيهَا الأَفْرَادُ وَالشُّعُوبُ مِنْ حُقُوقِهِمِ الدِّينِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ؛ لَكَانَ أَوْلَى مِنْ اسْتِسْلَامِهِمْ لِدَوْلَةٍ تَقْضِي عَلَى حُقُوقِهِمِ الدِّينِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ، وَتَحْرِصُ عَلَى إِبَادَتِهَا وَجَعْلِهِمْ عَمَلَةً وَخَدَمًا لَهُمْ. نَعَمْ، إِنْ أَمْكَنَ أَنْ تَكُونَ الدَّوْلَةُ لِلْمُسْلِمِينَ وَهُمْ الحُكَّامُ فَهُوَ المُتَعَيَّنُ، وَلَكِنْ لِعَدَمِ إِمْكَانِ هَذِهِ المَرْتَبَةِ، فَالْمَرْتَبَةُ الَّتِي فِيهَا دَفْعٌ وَوِقَايَةٌ لِلدِّينِ وَالدُّنْيَا مُقَدَّمَةٌ، وَاللهُ أَعْلَمُ»

“Jika memungkinkan kaum Muslim yang berada di bawah kekuasaan kafir membantu dan menjadikan wilayah itu sebagai republik di mana individu dan rakyat dapat memperoleh hak-hak mereka baik agama maupun dunia, maka itu lebih utama dibandingkan menyerah pada negara yang menghancurkan hak-hak mereka dan menjadikannya alat atau budak bagi mereka. Ya, jika memungkinkan negara berada di tangan kaum Muslim yang menjadi penguasa, maka itu yang utama. Tetapi karena kemungkinan itu tidak ada, maka posisi yang memungkinkan perlindungan dan pemeliharaan agama dan dunia diutamakan, dan Allah Maha Mengetahui”. [Taisir al-Karim ar-Rahman, Ibn Sa‘di, hlm. 338].

Demikian pula yang disebutkan oleh Ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah:

«الحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَتَغَلَّبَ الكُفَّارُ عَلَى بَلَدٍ أَهْلُهُ مُسْلِمُونَ وَلَا يُفْتِنُوهُمْ فِي دِينِهِمْ وَلَا فِي عِبَادَتِهِمْ وَلَا فِي أَمْوَالِهِمْ، وَلَكِنَّهُمْ يَكُونُ لَهُمْ حُكْمُ القُوَّةِ عَلَيْهِمْ فَقَطْ وَتَجْرِي الأَحْكَامُ بَيْنَهُمْ عَلَى مُقْتَضَى شَرِيعَةِ الإِسْلَامِ، كَمَا وَقَعَ فِي صِقِلِّيَةَ حِينِ اسْتَوْلَى عَلَيْهَا رُجِيرُ النَّرْمَنْدِي. وَكَمَا وَقَعَ فِي بِلَادِ غِرْنَاطَةَ حِينِ اسْتَوْلَى عَلَيْهَا طَاغِيَةُ الجَلَالِقَةِ عَلَى شُرُوطٍ مِنْهَا: احْتِرَامُ دِينِهِمْ؛ فَإِنَّ أَهْلَهَا أَقَامُوا بِهَا مَدَّةً وَأَقَامَ مِنْهُمْ عُلَمَاؤُهُمْ، وَكَانُوا يَلُونَ القَضَاءَ وَالفَتْوَى وَالعَدَالَةَ وَالأَمَانَةَ وَنَحْوَ ذَلِكَ، وَهَاجَرَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ فَلَمْ يَعِبِ المُهَاجِرُ عَلَى القَاطِنِ وَلَا القَاطِنُ عَلَى المُهَاجِرِ»

“Keadaan keempat: apabila kaum kafir menguasai sebuah negeri yang penduduknya Muslim, tetapi tidak menyesatkan mereka dalam agama, ibadah, maupun harta mereka, namun mereka memiliki kekuatan atas mereka saja, dan hukum dijalankan di antara mereka sesuai syariat Islam. Seperti yang terjadi di Sisilia ketika dikuasai Roger Normand, dan di Granada ketika dikuasai oleh tiran Jalalikhah dengan beberapa syarat, di antaranya menghormati agama mereka; penduduk menetap di sana untuk beberapa waktu, termasuk ulama mereka, dan mereka melaksanakan hukum, fatwa, keadilan, amanah, dan sebagainya. Sebagian dari mereka berhijrah tanpa ada celaan dari yang tinggal maupun dari yang berhijrah”. [At-Tahrir wat-Tanwir, Ibn ‘Ashur (5/179)].

Dari semua ini, jelas terlihat bahwa dalil-dalil dan pendapat para ulama menunjukkan bahwa prinsip darurat berlaku bagi entitas dan kelompok sama seperti individu; penerapannya adalah untuk mewujudkan tujuan syariah dan memberikan kelonggaran yang diperbolehkan. Syariah mempertimbangkan realitas, kebutuhan mendesak, kondisi, dan keterpaksaan, serta tidak membebani sesuatu yang di luar kemampuan. Dengan demikian, bahaya yang besar dan ancaman yang mendesak dapat dihadapi dengan risiko yang lebih ringan.

Menjelaskan makna kemampuan dalam syariah dan melepaskannya dari kesalahan membantu memahami kesalahan fatal yang terjadi pada individu dan kelompok dengan dalih pemberdayaan, yang menyebabkan pengumuman negara dan kekuasaan, pelaksanaan hukum kekuasaan, seruan baiat, pengangkatan hakim, pelaksanaan hudud dan jihad, dan seterusnya”. [Al-Muwafaqat, Asy-Syatibi (2/93-94)]

Di sini muncul dua hal penting:

Pertama, apa pengertian kemampuan (istithāah) secara syar’i?

Kedua, apa ketentuan atau batasan kemampuan itu? Kita mulai dengan pertanyaan pertama:

***

APA MAKNA KEMAMPUAN (الاسْتِطَاعَة) DALAM KONSEP SYAR’I?

Pentingnya menjelaskan makna kemampuan dalam syariah dan membebaskannya dari kesalahpahaman terletak pada kenyataan bahwa hal ini menyingkap beberapa kesalahan fatal yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan dalih pemberdayaan. Mereka mengumumkan pemerintahan dan kekuasaan, melaksanakan hukum kekuasaan, menyerukan baiat, mengangkat hakim, melaksanakan hudud, jihad, dan seterusnya.

Dengan merujuk pada penetapan para ulama dan penjelasan mereka mengenai makna kemampuan syar’i beserta konsekuensi hukumnya, kita memahami kesalahan pemahaman ini dan jauhnya dari kebenaran. Mereka menjelaskan bahwa sekadar memiliki kemampuan untuk melaksanakan sebagian hukum dan menjalankannya bukanlah hal yang sama dengan tercapainya kemampuan dalam pengertian syar’i. Perhatikan pernyataan Ibnu Taimiyah rahimahullah:

«الشَّرْعُ لَا يَنْظُرُ فِي الاسْتِطَاعَةِ الشَّرْعِيَّةِ إِلَى مُجَرَّدِ إِمْكَانِ الفِعْلِ، بَلْ يَنْظُرُ إِلَى لَوَازِمِ ذَلِكَ، فَإِذَا كَانَ الفِعْلُ مُمْكِنًا مَعَ المَفْسَدَةِ الرَّاجِحَةِ؛ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ اسْتِطَاعَةً شَرْعِيَّةً»

“Syariah tidak melihat kemampuan syar’i hanya pada kemungkinan melakukan perbuatan, tetapi melihat pada konsekuensi yang melekat. Jika perbuatan itu memungkinkan terjadi kemudaratan yang lebih besar, maka itu bukanlah kemampuan syar’i”. [Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Ibn Taimiyah (4/49)].

Di tempat lain, Ibnu Taimiyah mendefinisikan kemampuan syar’i:

«الاسْتِطَاعَةُ فِي الشَّرْعِ هِيَ: مَا لَا يَحْصُلُ مَعَهُ لِلْمُكَلَّفِ ضَرَرٌ رَاجِحٌ».

“Kemampuan dalam syariah adalah: sesuatu yang tidak menimbulkan mudarat yang nyata bagi orang yang berkewajiban”. [Majmu‘ al-Fatawa, Ibn Taimiyah (14/103)].

Dengan demikian, kemampuan atau istithāah yang jika dilaksanakan menimbulkan kerugian nyata dan mudarat yang lebih besar bukanlah kemampuan syar’i yang sah. Menjalankan perbuatan semacam itu merupakan pelanggaran terhadap agama, merusak syariah, dan menyesatkan dari jalan Allah. Para ulama menegaskan bahwa syariah tidak sekadar menetapkan kemampuan pada kemungkinan perbuatan jika ada mudarat yang nyata:

«بَلْ مَتَى كَانَ العَبْدُ قَادِرًا عَلَى الفِعْلِ مَعَ ضَرَرٍ يَلْحَقُهُ، جُعِلَ كَالْعَاجِزِ»

“Bahkan, ketika seorang hamba mampu melakukan perbuatan dengan hadirnya mudarat yang menimpa, ia dianggap seperti tidak mampu”. [Majmu‘ al-Fatawa, Ibn Taimiyah (8/439)]. Perhatikan baik-baik!

Prinsip “penyeimbangan (الموازَنَةِ)” dan pembebasan makna “kemampuan (الاسْتِطَاعَةِ)” adalah bagian dari ilmu fiqh yang mendalam, yang merupakan tugas para ahli dari kalangan ulama, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah:

«مَرَاتِبُ المَعْرُوفِ وَالْمُنْكَرِ، وَمَرَاتِبُ الدَّلِيلِ؛ بِحَيْثُ يُقَدَّمُ عِنْدَ التَّزَاحُمِ أَعْرَفُ المَعْرُوفَيْنِ، وَيُنْكَرُ أَنْكَرُ المُنْكَرَيْنِ، وَيُرَجَّحُ أَقْوَى الدَّلِيلَيْنِ: فَإِنَّهُ هُوَ خَاصَّةُ العُلَمَاءِ بِهَذَا الدِّينِ»

“Tingkat-tingkat kebaikan dan keburukan, dan tingkat bukti; sehingga ketika terjadi pertentangan, kebaikan yang lebih dikenal diutamakan, keburukan yang lebih besar ditinggalkan, dan bukti yang lebih kuat diunggulkan: inilah khususnya para ulama dalam urusan agama ini”. [Iqtidho’ ash-Shirat al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah (2/127)].

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

«الْوَاجِبُ شَيْءٌ وَالْوَاقِعُ شَيْءٌ، وَالْفَقِيهُ مَنْ يُطَبِّقُ بَيْنَ الْوَاقِعِ وَالْوَاجِبِ، وَيُنَفِّذُ الْوَاجِبَ بِحَسَبِ اسْتِطَاعَتِهِ، لَا مَنْ يُلْقِي الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْوَاجِبِ وَالْوَاقِعِ، فَلِكُلِّ زَمَانٍ حُكْمٌ».

“Yang wajib itu satu hal, yang nyata satu hal, dan ahli fiqh adalah orang yang mengaitkan antara yang nyata dan yang wajib, serta menunaikan yang wajib sesuai kemampuan, bukan orang yang menebar permusuhan antara yang wajib dan yang nyata; setiap zaman memiliki hukum yang berbeda”. [I‘lam al-Muwaqqi‘in, Ibn Qayyim (4/169)].

Berikut ini penjelasan tentang bahaya pemaksaan dan kekuasaan untuk memaksakan syariah, yang dapat menyebabkan konflik, penindasan, dan penyalahgunaan fatwa.

Tanpa dasar ilmiah dan kapasitas keilmuan yang tepat, niat baik dan prasangka positif terhadap diri sendiri tidaklah cukup; yang dibutuhkan adalah bersikap hati-hati dan cermat. Hal ini tidak berarti kita mendorong kelalaian terhadap syariah atau menyimpang ke sekularisasi, tetapi yang dimaksud adalah agar semangat dan ilusi kekuatan tidak mendorong kita ke jurang kesalahan.

Barang siapa yang menempuh jalan kekerasan dan pemaksaan sebagai sarana untuk memaksa masyarakat menerapkan syariat dengan anggapan bahwa “mendapatkan kekuasaan akan memungkinkan mereka mengendalikan dan melakukan apa yang mereka kehendaki”, maka hendaklah mereka menyadari bahwa pemerintahan yang buruk akan menimbulkan perlawanan, meskipun terjadi kemudian.

Pada saat itu, tujuan dari penegakan agama akan bergeser menjadi sekadar menjaga eksistensi, sehingga lingkaran sasaran, pembunuhan, dan ketidakadilan terhadap rakyat akan melebar.

Fatwa-fatwa akan digunakan untuk melegitimasi perampasan, dan secara bertahap eksistensi akan berubah menjadi konflik krisis mengenai keabsahan pemerintahan mereka dan keberadaan mereka, sebagaimana yang terlihat nyata!

Sebagaimana dikatakan para ulama:

«الْوَاجِبُ شَيْءٌ وَالْوَاقِعُ شَيْءٌ، وَالْفَقِيهُ مَنْ يُطَبِّقُ بَيْنَ الْوَاقِعِ وَالْوَاجِبِ، وَيُنَفِّذُ الْوَاجِبَ بِحَسَبِ اسْتِطَاعَتِهِ، لَا مَنْ يُلْقِي الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْوَاجِبِ وَالْوَاقِعِ، فَلِكُلِّ زَمَانٍ حُكْمٌ».

“Yang wajib itu suatu hal, yang nyata suatu hal, dan ahli fiqh adalah orang yang mengaitkan antara yang nyata dan yang wajib, serta menunaikan yang wajib sesuai kemampuan, bukan orang yang menebar permusuhan antara yang wajib dan yang nyata; setiap zaman memiliki hukum yang berbeda”. [I‘lam al-Muwaqqi‘in, Ibn Qayyim (4/169)].

 ****

APA SAJA BATAS KETENTUAN DARURAT DALAM SYARIAT?

Para ulama telah menjelaskan ketentuan untuk menerapkan kaidah darurat dan dispensasi (rukhsah). Berikut kami ringkas, kemudian kami berikan contoh dari sirah Nabi untuk mengaitkan teori dan kaidah dengan praktik:

Ke 1.

أَنْ يَكُونَ الضَّرَرُ فِي الْمَحْظُورِ الَّذِي يَحِلُّ الْإِقْدَامُ عَلَيْهِ أَقَلَّ مِنْ ضَرَرِ حَالَةِ الضَّرُورَةِ

Bahwa dhoror (madhorot) yang dilarang, bisa menjadi halal jika ia lebih ringan daripada dhoror akibat keadaan darurat.

Misalnya, jika diperbolehkan memakan bangkai dalam kondisi kelaparan. Namun tidak diperbolehkan bagi orang yang dipaksa untuk melakukan pembunuhan atau zina, karena keduanya menimbulkan kemudharatan yang menyaingi atau melebihi menjaga nyawa orang yang terpaksa.

فَٱلضَّرَرُ ٱلْأَشَدُّ يُزَالُ بِٱلضَّرَرِ ٱلْأَخَفِ

Madhorot yang lebih berat bisa dihilangkan dengan memilih madhorot yang lebih ringan (Baca : Al-Madah (27) dari Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah).

وَإِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا بِٱرْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

Jika dua kemudharatan bertentangan, maka dipilih yang lebih besar untuk dihindari dengan melakukan yang lebih ringan. (Baca : Al-Ashbah wa An-Nadzair, oleh As-Suyuthi, hlm. 96; Al-Ashbah wa An-Nadzair, oleh Ibnu Najim, hlm. 89).

وَيُتَحَمَّلُ ٱلضَّرَرُ ٱلْخَاصُّ لِدَفْعِ ٱلضَّرَرِ ٱلْعَامِ

Dan madhorot khusus ditanggung sendiri demi untuk menghindari madhorot umum. (Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Ibn Najim, hlm. 87).

Ke 2.

أَنْ يَكُونَ مِقْدَارُ مَا يُبَاحُ أَوْ يُرَخَّصُ فِيهِ مُقَيَّدًا بِٱلْقَيْدِ ٱلَّذِي يَدْفَعُ ٱلضَّرُورَةَ

Kadar yang diperbolehkan atau diberikan dispensasi harus dibatasi sesuai dengan batas yang menghilangkan keadaan darurat.

Atas dasar ini muncullah kaidah:

«مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا»

“Apa yang diperbolehkan karena darurat diukur sesuai kadar daruratnya” (Al-Manshur fi Al-Qawa’id, oleh Al-Zarkashi, 2/320).

Ke 3.

أَلَا تُوجَدْ لِلْمُضْطَرِّ وَسِيلَةٌ مَشْرُوعَةٌ يَدْفَعُ بِهَا ضَرُورَتَهُ

Tidak diketemukan bagi orang yang dalam keadaan darurat suatu wasilah atau jalan keluar yang syar'i untuk menghilangkan daruratnya.

Maka, siapa pun yang terpaksa menjalani operasi bedah yang kehidupannya bergantung padanya, sementara ia tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar biayanya, maka diperbolehkan baginya berutang dengan riba demi menyelamatkan hidupnya.

Namun, jika ia menemukan jalan untuk mendapatkan pinjaman hasan (baik), maka tidak halal baginya berutang dengan riba.

Ibn Taimiyah berkata:

«إِذَا اجْتَمَعَ مُحَرَّمَانِ، لَا يُمْكِنُ تَرْكُ أَعْظَمِهِمَا إِلَّا بِفِعْلِ أَدْنَاهُمَا؛ لَمْ يَكُنْ فِعْلُ الْأَدْنَى -فِي هَذِهِ الْحَالِ- مُحَرَّمًا فِي الْحَقِيقَةِ، وَإِنْ سُمِّيَ ذَلِكَ تَرْكَ وَاجِبٍ، وَسُمِّيَ هَذَا فِعْلَ مُحَرَّمٍ بِاعْتِبَارِ الْإِطْلَاقِ؛ لَمْ يَضُرَّ، وَيُقَالُ فِي مِثْلِ هَذَا: تَرْكُ الْوَاجِبِ وَفِعْلُ الْمُحَرَّمِ؛ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ، أَوْ لِلضَّرُورَةِ، أَوْ لِدَفْعِ مَا هُوَ أَحْرَمُ»

"Apabila berkumpul dua hal yang diharamkan, dan tidak mungkin meninggalkan yang lebih besar dosanya kecuali dengan melakukan yang lebih ringan, maka melakukan yang lebih ringan dalam keadaan ini tidaklah haram pada hakikatnya. Walaupun hal itu disebut meninggalkan yang wajib, dan yang ini disebut melakukan yang haram secara mutlak, hal itu tidaklah berbahaya. Dalam keadaan seperti ini dikatakan: meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram demi kemaslahatan yang lebih besar, atau karena darurat, atau untuk menolak apa yang lebih besar keharamannya." (Majmu’ Al-Fatawa, oleh Ibn Taimiyah, 20/57).

Ke 4.

أَنْ يَتَقَيَّدَ زَمَنُ الْإِبَاحَةِ بِبَقَاءِ الضَّرُورَةِ وَإِنْ طَالَتْ

Waktu diperbolehkannya tindakan harus terikat selama keadaan darurat masih ada, meski berlangsung lama.

Maka apa yang diperbolehkan karena alasan darurat, menjadi batal ketika penyebabnya hilang. (Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Al-Suyuthi, hlm. 94; Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Ibn Najim, hlm. 86).

Dan jika penghalang hilang, maka yang dilarang kembali berlaku (Al-Madah (24) dari Majalah Al-Ahkam Al-Adliya).

Ke 5.

قِيَامُ الضَّرَرِ الْفَادِحِ أَوْ تَوَقُّعُ حُصُولِهِ يَقِينًا أَوْ غَالِبًا لَا مُتَوَهَّمًا، أَوْ كَانَ تَوَقُّعُ حُصُولِهِ غَيْرَ رَاجِحٍ

Terjadinya dhoror yang besar atau kemungkinan terjadinya itu menyakinkan atau kemungkinan besar, bukan dugaan semata atau bukan kecil kemungkinan terjadinya.

Maka jika prediksi kerugian tidak signifikan, seperti klaim darurat dalam transaksi riba atau darurat ekonomi yang memperbolehkan penjualan minuman keras, maka semua itu tidak termasuk darurat sesungguhnya, dan tidak diperbolehkan untuk hal-hal haram.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:

«مُصَالَحَةُ الْمُشْرِكِينَ بِبَعْضِ مَا فِيهِ ضَيْمٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ جَائِزَةٌ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ وَدَفْعِ مَا هُوَ شَرٌّ مِنْهُ، فَفِيهِ دَفْعُ أَعْلَى الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا»

“Berdamai dengan kaum musyrik dengan beberapa hal yang menimbulkan ketidakadilan terhadap Muslim diperbolehkan karena kemaslahatan yang lebih besar dan untuk menghindari kerugian yang lebih buruk; dalam hal ini dipilih untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar dengan kemungkinan kemudharatan yang lebih ringan”. [Zaad al-Ma’aad oleh Ibnu Qoyyim 3/272 Cet. Ar-Risalah]

(Baca : Al-Madah (27) dari Majalah Al-Ahkam Al-Adliya, Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Al-Suyuthi, hlm. 96; Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Ibn Najim, hlm. 8, Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Ibn Najim, hlm. 87, Al-Manshur fi Al-Qawa’id, oleh Al-Zarkashi, 2/320, Majmu’ Al-Fatawa, oleh Ibn Taimiyah, 20/57, Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Al-Suyuthi, hlm. 94; Al-Ashbah wa An-Nazair, oleh Ibn Najim, hlm. 86, Al-Madah (24) dari Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah.

===

CONTOH-CONTOH PENERAPAN MAQOSHID SYARI’AH DARI REALITAS SIRAH NABI :

Sangat tepat bila kita menutup pembahasan ini dengan beberapa contoh dari sirah Nabi mulia terkait apa yang sedang kita bicarakan, serta apa yang beliau alami dalam kondisi lemah, darurat, dan keterpaksaan. Barang siapa menelaah sirah akan menemukan banyak peristiwa yang di dalamnya Nabi menerapkan fiqih pertimbangan, kemaslahatan, dan akibat (فِقْهَ الْمُوَازَناتِ وَالْمَصالِحِ وَالْمَآلاتِ).

Dengan itu beliau telah meletakkan sebuah metode bagi umat, memberikan solusi, serta membuka cakrawala dalam lingkup “politik syar’i” «السِّياسَةُ الشَّرْعِيَّةُ» yang diakui.

Hal ini menunjukkan betapa fleksibel dan realistisnya syariat ini. Berikut sebagian contohnya:

[*]- Berunding dan berdamai, meskipun dengan sikap menahan diri, sebagaimana yang dilakukan Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah ketika beliau menghapus kalimat “Bismillah” dan “Rasulullah”, serta mengembalikan sebagian orang yang lari dari Mekah ke Madinah sesuai isi perjanjian.

Ibnul Qayyim, ketika menyebutkan beberapa pelajaran dari perjanjian Hudaibiyah, berkata:

«وَمِنْهَا: أَنَّ مُصَالَحَةَ الْمُشْرِكِينَ بِبَعْضِ مَا فِيهِ ضَيْمٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ جَائِزَةٌ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ وَدَفْعِ مَا هُوَ شَرٌّ مِنْهُ، فَفِيهِ دَفْعُ أَعْلَى الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا»

“Di antaranya: bahwa berdamai dengan kaum musyrik atas sesuatu yang di dalamnya terdapat kerugian bagi kaum muslimin adalah boleh demi kemaslahatan yang lebih besar dan untuk menolak yang lebih buruk. Dalam hal itu terdapat penerapan menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung yang lebih kecil”. (Zadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim, jilid 3 hlm. 272).

[*] Membuat perjanjian dan menetralkan pihak-pihak yang bisa dineutralkan dari kalangan musuh, sebagaimana perjanjian-perjanjian yang dilakukan Rasulullah dengan orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin yang ada di Madinah dan sekitarnya.

(Baca : Sirah Ibnu Hisyam, jilid 2 hlm. 66–68; Fiqhus-Sirah, karya Al-Ghazali, hlm. 193; Sirah Nabawiyah Shahihah, karya Al-‘Umari, jilid 1 hlm. 282–285).

[*] Masuk dalam aliansi dengan sebagian orang kafir jika sisi mereka aman.

Di antaranya adalah Nabi beraliansi dengan suku Khuza’ah, baik yang muslim maupun kafir, dan mereka ikut bersama pasukan Nabi dalam Fathu Makkah. Dalam Sunan Abu Dawud dan lainnya, dari Dzi Mikhar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: (سَتُصَالِحُونَ الرُّومَ صُلْحًا آمِنًا، فَتَغْزُونَ أَنْتُمْ وَهُمْ عَدُوًّا مِنْ وَرَائِكُمْ)

Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Kalian akan mengadakan perdamaian dengan bangsa Romawi, sebuah perdamaian yang aman, kemudian kalian bersama mereka akan memerangi musuh dari belakang kalian”.

(Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4292, Ibnu Majah no. 4089, Ahmad no. 16826, Ibnu Hibban no. 6709, dan Al-Hakim 4/467, beliau berkata: sanadnya sahih. Disahihkan pula oleh Syu’aib Al-Arna’uth dalam ta’liq Musnad, dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud).

 

[*] Berlindung di bawah perlindungan orang kafir untuk menolak gangguan pihak lain. Nabi memerintahkan para sahabatnya hijrah ke negeri Habasyah dan berlindung di bawah perlindungan Raja Habasyah yang saat itu beragama Nasrani, ketika siksaan Quraisy semakin berat.

Demikian pula Nabi masuk ke Mekah dalam jaminan Al-Muth’im bin ‘Adi, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu masuk dalam perlindungan Ibnu Ad-Daghinah.

(Baca: Fiqhus-Sirah An-Nabawiyah, karya Munir Al-Ghadhban, hlm. 224; Tarikh Ath-Thabari, jilid 1 hlm. 555; Sirah Ibnu Hisyam, jilid 1 hlm. 250–251).

[*] Memberikan harta kepada pihak yang menyerang atau yang dikhawatirkan bahayanya.

Al-Bazzar dan Ath-Thabarani meriwayatkan bahwa pada hari Khandaq, Nabi hendak memberikan sebagian harta kepada orang-orang kafir agar mereka mundur dari Madinah.

Ibnul Qayyim berkata:

«أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ يُصَالِحَ عُيَيْنَةَ بْنَ حِصْنٍ وَالْحَارِثَ بْنَ عَوْفٍ رَئِيسَي غَطَفَانَ عَلَى ثُلُثِ ثِمَارِ الْمَدِينَةِ وَيَنْصَرِفَا بِقَوْمِهِمَا، وَجَرَتِ الْمُرَاوَضَةُ عَلَى ذَلِكَ».

“Rasulullah ingin berdamai dengan ‘Uyainah bin Hishn dan Al-Harith bin ‘Auf, dua pemimpin Ghathafan, dengan memberikan sepertiga hasil buah Madinah agar mereka pulang bersama pasukan mereka. Dan terjadilah perundingan terkait hal itu” (Zadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim, jilid 3 hlm. 241).

Ibnu Taimiyah juga menyebutkan bahwa orang kafir dari golongan muallaf boleh diberi zakat untuk menolak keburukannya. Ia berkata:

«وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ نَوْعَانِ: كَافِرٌ وَمُسْلِمٌ، فَالْكَافِرُ إِمَّا أَنْ يُرْجَى بِعَطِيَّتِهِ مَنْفَعَةٌ كَإِسْلَامِهِ، أَوْ دَفْعُ مَضَرَّتِهِ إِذَا لَمْ يَنْدَفِعْ إِلَّا بِذَلِكَ».

“Muallaf ada dua macam: kafir dan muslim. Adapun kafir, maka jika dengan pemberian tersebut diharapkan ada manfaat seperti masuk Islamnya, atau untuk menolak keburukannya jika keburukan itu tidak bisa dicegah kecuali dengan cara itu, maka boleh” (As-Siyasah As-Syar’iyyah, karya Ibn Taimiyah, hlm. 45).

Para ulama dengan penjelasan dan landasan mereka telah bersepakat untuk mengakui kaidah “darurat” dan “kesulitan” (قَاعِدَةُ الضَّرُورَاتِ وَالْمَشَقَّةِ) yang membawa kepada keringanan dan kemudahan dengan syarat-syarat yang ditentukan.

Jika persoalan menjadi samar dan maslahat bercampur dengan mafsadat, maka seorang faqih sejati adalah orang yang mampu mengetahui kebaikan dari dua kebaikan dan keburukan dari dua keburukan.

===***===

PENUTUP

Telah jelas bahwa keadaan darurat, paksaan, atau keterdesakan yang disebut dengan “fiqih al-istid’af” «فِقْهُ الاِسْتِضْعَافِ» memiliki hukum dan batasan yang datang dari syariat Islam. Para ulama memasukkannya ke dalam ranah “politik syar’i” «السِّياسَةُ الشَّرْعِيَّةُ» baik dari segi teori maupun penerapan. Hal ini dikembalikan kepada waliyyul amr dan para ulama dalam masalah-masalah besar, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

﴿وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ﴾

“Kalau sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan kepada ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya dapat mengetahuinya dari mereka” (QS. An-Nisa: 83).

Mereka adalah pihak yang lebih mampu memahami realitas yang mungkin tersembunyi dari kebanyakan manusia, serta lebih mampu menerapkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum pada detail-detailnya, serta mengatur prioritas dalam konteksnya.

Dalam sirah Nabi terdapat banyak contoh dan peristiwa yang bisa diteliti, disimpulkan, dan dijadikan analogi. Para ulama juga bersepakat bahwa kaidah darurat dan kesulitan yang membawa keringanan dan kemudahan harus dipegang dengan syarat-syaratnya, dan bahwa syariat Islam tidak pernah memerintahkan sesuatu yang mafsadatnya murni atau lebih dominan, serta tidak melarang sesuatu yang maslahatnya murni atau lebih dominan. Jika persoalan samar dan maslahat bercampur dengan mafsadat, maka seorang faqih sejati adalah orang yang mampu mengetahui kebaikan dari dua kebaikan dan keburukan dari dua keburukan.

Syariat Islam dalam memperhatikan kondisi darurat dan paksaan bertujuan antara lain:

*] Memberikan kemudahan bagi mukallaf dan menghilangkan kesulitan dari umat.

*] Mewujudkan maqashid syariah dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, serta mendahulukan yang lebih penting jika terjadi pertentangan.

*] Menunjukkan kesempurnaan syariat ini sehingga tidak ada satu pun kejadian yang luput dari hukumnya.

Al-hamdulillah

 

Posting Komentar

0 Komentar